Mengunjungi Desa Adat Tenganan di Bali Timur


Mengunjungi Desa Adat Tenganan di Bali Timur

Mengunjungi desa adat selama di Bali pastinya menarik dan sayang jika dilewatkan, sama halnya ketika saya berada di Manggis, Bali Timur, saya menyempatkan melihat secara langsung kehidupan orang Bali asli di desa adat Tenganan. 
Kalau bicara mengenai desa adat Bali atau yang sering disebut dengan Bali Aga, maka yang paling cepat ada hadir ingatan adalah Desa Trunyan, karena banyak cerita kontroversi jika ingin mengunjungi Trunyan, dari yang katanya mereka menolak hadirnya turis di desa mereka, sampai cerita scam dari kapal yang ditumpangi yang meminta uang kepada penumpang saat kapal berada di tengah-tengah danau menuju Trunyan, entahlah saya sendiri belum pernah sampai ke Trunyan jadi belum bisa membuktikan cerita-cerita tersebut. 
Desa Tenganan sendiri terletak hanya kira-kira 10 kilometer dari pusat pariwisata Candi Dasa ( atau 70 kilometer dari Denpasar ), banyak papan penunjuk arah dan juga ojek yang bersedia mengantar, saya membayar ojek Rp.15.000 per sekali jalan.

Gerbang utama desa Tenganan masih direnovasi ketika saya tiba disana, hanya ada meja berisi buku tamu dan kotak sumbangan, terserah mau diisi berapa kata si pecalang yang menjaga meja tersebut.
Saya surprise dengan kenyataan tidak ada satupun penjual ini itu yang lari menghampiri, apalagi hari itu sepertinya hanya saya dan suami saya yang jadi turis di desa itu. Mungkin sudah ada kesepakatan kalau para penjual dilarang membuat turis tidak terasa nyaman selama mereka berada di desa Tenganan. Pastinya kesepakatan atau apapun itu memang membuat kami merasa sangat nyaman berada disana.

Orang Tenganan disebut Bali Aga karena mereka adalah keturunan asli Bali yang memang tinggal di Bali jauh sebelum jaman-jamannya eksodus orang Majapahit dari Jawa saat kerajaan itu runtuh. 
Mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu aliran Dewa Indra. Yang membedakan dengan Hindu lainnya adalah mereka tidak mengenal kasta juga tidak membedakan hak antara pria dan perempuan.


Menurut kepercayaan, tanaman juga adalah makhluk hidup


Semua rumah di Tenganan sepertinya memiliki model yang sama, mungkin pantang diubah atas asas adat istiadat. Lumbung padi, bale bengong dan pura desa mendominasi jalan utama, sedangkan bangunan lainnya digunakan sebagai tempat menjual suvenir. 

bale dan pura di desa Tenganan

seni menulis di atas daun lontar

persembahan
 
Suvenir yang banyak dijual adalah kain ikat khas Tenganan bernama kain Grinsing, 'gring' dari arti kata 'sakit' dan 'sing' yang berarti 'tidak', kurang lebih berarti dengan menggunakan kain Grinsing maka dijauhkan dari sakit penyakit. 

Pembuatan ikat Grinsing dengan cara masih manual

Membawa pulang 2 ukiran kayu seperti Loro Blonyo dan kain ikat, kenang-kenangan dari Desa Tenganan sebagai dekorasi rumah kami
 
Ikat Grinsing merupakan satu-satunya teknik memintal dengan double ikat, sehingga sudah dipastikan waktu pembuatannya juga memakan waktu, apalagi cara memintalnya hanya menggunakan tangan dan alat pintal tradisional bukan mesin. Pewarnaannya pun berasal dari alam dan bukan sintetis.

Ikat Grinsing ini banyak yang sudah berusia ratusan tahun, menemani upacara keagamaan rakyat Bali.

0 Response to "Mengunjungi Desa Adat Tenganan di Bali Timur"

Post a Comment